- Back to Home »
- ASAL USUL WARKOP DKI
Posted by : Unknown
Kamis, 08 Januari 2015
Tahun 1973 di
Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung
konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana kedatangan Perdana Menteri
Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di
sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya
ramai dan tidak menjenuhkan.
Ide penentangan Tanaka
berawal saat berlangsungnya diskusi di UI pada Agustus 1973. Pembicaranya,
Subadio Sastrosatomo, Sjaffruddin Prawinegara, Ali Sastroamidjojo dan TB
Simatupang. Saat itu mereka mendiskusikan soal peran modal asing.
Temmy Lesanpura,
mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui Kasino, Nanu, dan
Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia menawari ketiganya
untuk mengisi acara radio Prambors. “Mau nggak isi acara di Prambors,” tanya
Temmy. Ketiganya setuju. Namun mereka masih bingung apa nama acara itu.
Setelah berdiskusi
panjang, akhirnya mereka temukan nama acara itu: ‘Obrolan Santai di Warung
Kopi’. September 1973, mereka mulai siaran. Jam siaran setiap hari kamis malam
pada jam 20.30 sampai 21.15. Tak ada persiapan apa pun. Ide guyonan selalu
ditemukan ketika akan siaran. Dan ceritanya seenaknya saja.
Nama warung kopi
disematkan sebagai tempat yang paling demokratis untuk membicarakan hal-hal
hangat di negeri ini. Konsep siaran bergaya komunikatif dan berkesan orang kampung
memang menjadi cara menarik minat orang untuk mendengarkan siaran mereka. Untuk
itu, masing-masing punya aksen suara yang berbeda. Kasino menirukan logat China
dan Padang. Nanu dengan logat Batak, dan Rudy Badil dengan aksen Jawa.
Tahun 1974, Dono direkrut
untuk bergabung di acara itu. Ia dikenal sebagai salah satu aktivis UI.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS, sekarang FISIP) itu dikenal tak banyak
bicara. Namun sekali berbicara, banyak orang tertawa. Apalagi aksen Jawa-nya
kental.
“Dari materinya, acara
ini sering nyinggung juga tentang anti modal asing. Tapi, sentilannya tidak
kentara. Halus banget. Kita tahu, arahnya ke masalah hangat juga,” tutur
Indro.
15 Januari 1974. Saat
itu Tanaka tiba di Jakarta. Mahasiswa melangsungkan aksi unjuk rasa di Bandar
Udara Halim Perdanakusuma. Tiga pokok tuntutan mahasiswa dalam aksi itu;
pertama, pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi yang berkaitan
dengan modal asing yang didominasi Jepang, dan pembubaran lembaga yang tidak
konstitusional.
Aksi kedatangan Tanaka
kemudian meluas di beberapa tempat lainnya di Jakarta. Ironinya, terjadi
kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan. Mobil dan motor buatan Negeri Sakura
itu, dibakar massa. Asap mengepul di segala penjuru.
Peristiwa itu, akhirnya
dikenal dengan ‘Malari 74’, kependekan dari Malapetaka Lima Belas Januari 1974.
Dari kejadian itu, diperkirakan, 11 orang meninggal, 300 orang luka-luka, 775
orang ditahan, ribuan mobil dan motor rusak serta terbakar. Ratusan kilogram
emas hilang di sejumlah toko perhiasan.
Saat berlangsung unjuk
rasa anti Tanaka, Wahjoe Sardono alias Dono berada di antara kerumunan massa di
kampus UI, Salemba, Jakarta Pusat. Dengan membawa kamera, ia berupaya mendekati
podium. Dono meraih mikrofon, lantas menyorongkannya kepada Rektor UI Prof.
Mahar Mardjono untuk berorasi di hadapan massa.
Dono tidak hanya ikut
aksi demo. Ia juga sibuk memotret semua peristiwa aksi. Banyak wartawan yang
sudah mengenalnya sebagai pelawak di Radio Prambors. Kepada salah satu media di
Jakarta, Dono mengatakan dengan berkelakar,” Tadinya saya punya niat untuk ikut
demonstrasi yang dibayar.”
“Saya kan terkenal.
Jadi kalau demonstrasi bisa cepet ngumpulin banyak orang. Kan, lagi krisis,
wajar kalau orang nyari duit,” kelakar Dono kepada wartawan.
Dono sebenarnya ingin
ikut bicara dan memberikan lawakannya untuk menghibur massa. “Tapi. Tidak
diberi mikropon, jadinya batal.”
Sehari sebelum
kejadian, Indro baru pulang dari Filipina menjadi kontingen Indonesia untuk
acara Jambore Internasional. Tiba di Bandar Udara Kemayoran, Indro kaget.
Banyak tentara. “Gue pikir, kontingen pramuka disambut. Hebat banget,” kenang
Indro. Saat itu ia masih kelas 1 SMA.
Dalam kontingen, turut
serta anak Pakubuwono. Indro diminta menjaganya. Semua anggota Pramuka dibawa
masuk ke dalam ruangan VIP. Lantas langsung dilarikan ke rumah kediaman
Pakubuwono di Jalan Mendut, Menteng. Indro memilih pulang ke rumahnya. Firasat
Indro, akan ada kejadian luar biasa di Jakarta. “Seharusnya kontingen dimasukan
dulu ke karantina,” tuturnya.
“Besoknya gue baru
tahu, kalau ternyata ada demo besar-besaran dan terjadi pembakaran.”
Jakarta mencekam. Di
kampus UI, Salemba sudah ramai pengunjuk rasa. Indro berjalan kaki dari
rumahnya ke kampus UI Salemba. Di sana, ia melihat situasi yang mengerikan.
Pembakaran mobil dan motor banyak dilakukan di jalan-jalan. “Saya juga sempat
nolong orang tua yang ketakutan,” tuturnya.
Sementara itu Kasino
juga berada di antara massa yang berada di Bandar Udara Halim. Saat itu, dia
menjabat sebagai Wakil Senat Mahasiswa FIS UI. Massa mahasiswa dan polisi sudah
saling berhadapan. Polisi anti huru-hara dipersenjatai tameng rotan dan alat
setrum. “Ye…beraninya pake setrum,” tutur Kasino.
Tiba-tiba, polisi
menyerang pengunjuk rasa. Kasino dikejar-kejar sampai ke komplek Angkatan Udara
yang tak jauh dari Bandara. Ia terpojok. Dengan posisi itu, Kasino mengatakan,
“Jangan pukul dong pak. Saya kan cuma ikut-ikutan.” Kasino tidak jadi dipukul.
Masa-masa itu telah
berlalu. Usai peristiwa Malari 1974, Warkop Prambors tetap mengudara dengan
guyonan lucunya. Tahun 1976, barulah Indro bergabung. Ia sudah mengenal empat
anggota Warkop Prambors. Maklum, rumahnya dekat dengan studio. Jika ada yang
siaran sendiri, ia yang menemaninya. Saat itu, Indro masih kelas 3 di SMA 4
Jakarta.
Di radio Prambors,
Indro bukan orang baru. Rumahnya berdekatan dengan radio itu. Nama Prambors
diambil dari gabungan jalan di kawasan Menteng. Kepanjangan dari Jalan
Prambanan, Mendut, Borobudur dan sekitarnya. Awalnya disematkan untuk Rukun
Tetangga (RT) di sekitar situ. Julukannya, RT Prambors.
Saat itu, Radio
Prambors hanya amatiran. Kakak sepupunya, Yudi, salah satu orang yang
mendirikan sebelum radio itu akhirnya berubah fungsi menjadi radio bisnis. “Pas
siaran, gue juga yang sering nemenin penyiarnya,” ujarnya.
Kasino yang mengajak
Indro untuk mulai permanen di acaranya. Saat itu, sedang ada pertandingan
softball. Indro menjadi pemain sekaligus tukang soraknya. “Ndro, nanti malam
elu mulai permanen. Mau nggak?” Tanya Kasino seusainya. Indro langsung menerima
ajakannya. Tak hanya di acara itu, Indro mulai diajak show Warkop.
Formasi acara obrolan
di warung kopi menjadi lima orang. Kasino, Nanu, Rudy Badil, Dono, dan Indro.
Tak ayal, acara ini kian ramai. Masing-masing punya perannya sendiri. Kasino
kadang berganti nama menjadi Acing dan Acong dengan logat China. Nanu menjadi
Poltak yang beraksen Batak. Rudy Badil berganti nama menjadi Mr. James dan Bang
Kholil.
“Gue berperan sebagai
Mastowi, Ubai dan Ashori dengan aksen Purbalingga. Sedangkan Dono sebagai Mas
Slamet,” kata Indro.
“Pokoknya, semua isi
obrolan bebas banget. Tentang apa aja,” kata Indro.
Nama kelompok mereka
disebut dengan julukan Warkop Prambors. Pentas kali pertama tahun bulan
September 1976, saat pesta perpisahan SMP 9 Jakarta di Hotel Indonesia.
Hasilnya dikatakan belum berhasil. Semua personil gemetaran. Mereka dapat honor
transport Rp20 ribu. Indro belum bergabung.
Pentas kali pertama
Indro di acara SMP 1 Cikini, Jakarta. Sebelum pentas, Dono harus mojok dulu
untuk menenangkan dirinya. Rudy Badil, menolak mentas. “Badil dikenal demam
panggung,” ujarnya. “Kalau Dono, harus pelajarin dulu materi guyonannya.
Sebelum pentas, Dono ngumpet.”
Tak lama kemudian,
Warkop diundang di acara IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Mereka bertemu dengan
Mus Mualim, seorang pemain musik ‘Indonesia Lima’. Mus berencana membuat acara
untuk tahun baru 1977 di TVRI alias Televisi Nasional Indonesia. Warkop
ditawarin untuk nyanyi bareng oleh Mus Mualim. Nama acaranya Terminal Musikal,
tempat anak muda yang mangkal di TVRI .
“Yang brengsek itu
Nanu. Pas pentas di IDI itu. Ia malahan nggak jelas keberadaannya. Nggak tahu,
ia ngumpet di mana,” kisah Indro.
“Mentas cuma bertiga.
Gue, Dono, ama Kasino. Dono aja masih gugup. Jadi tinggal gue ama Kasino yang
peran abis-abisan.”
Dari situlah, Warkop
Prambors mulai dibesarkan. Semua media di Indonesia, banyak membicarakan
kelompok lawakan ini. Guyonan Warkop akhirnya dikasetkan. Ada sembilan kaset.
Kaset pertamanya berjudul cangkir kopi. Direkam langsung saat pementasan di
Palembang. Di kaset kelima berjudul Pingin Melek Hukum. Indro berperan sebagai
mahasiswa penyuluh hukum, sedangkan Kasino dan Dono sebagai warganya.
Ketenaran di radio dan
di pementasan membuat Hasrat Juwil, eksekutif produser PT. Bola Dunia melirik
Warkop Prambors. Hasrat yang juga anak Prambors, menghubungi Warkop untuk
bermain film. Soal skenario, Warkop diberikan kebebasan. Honor pertama untuk
Warkop Rp15 juta. “Uang itu, kami bagi rata,” ujar Indro.
Film pertamanya
berjudul; Mana Tahan di produksi tahun 1979. Artis perempuannya Elvy Sukaesih.
Film terakhirnya berjudul; Pencet Sana Pencet Sini, dibuat tahun 1994. Artis
pendukungnya, Sally Marcellina dan Taffana Dewi. Selama 15 tahun itu, Warkop
telah membintangi 34 film.
Beberapa perusahaan
film yang pernah melibatkan Warkop, antara lain PT. Nugraha Mas Film, PT.
Parkit Film, dan PT. Garuda Film. Sejak tahun 1985, akhirnya diambil alih oleh
PT. Soraya Intercine Film yang dimiliki oleh keluarga Soraya. Saat itu
direkturnya, Raam Soraya.
“Raam sangat membantu
keluarga Warkop. Sampai sekarang pun, ia tetap memperhatikan anak-anak kami. Ia
ASAL USUL WARKOP DKI
Tahun 1973 di
Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung
konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana kedatangan Perdana Menteri
Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di
sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya
ramai dan tidak menjenuhkan.
Ide penentangan Tanaka
berawal saat berlangsungnya diskusi di UI pada Agustus 1973. Pembicaranya,
Subadio Sastrosatomo, Sjaffruddin Prawinegara, Ali Sastroamidjojo dan TB
Simatupang. Saat itu mereka mendiskusikan soal peran modal asing.
Temmy Lesanpura,
mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui Kasino, Nanu, dan
Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia menawari ketiganya
untuk mengisi acara radio Prambors. “Mau nggak isi acara di Prambors,” tanya
Temmy. Ketiganya setuju. Namun mereka masih bingung apa nama acara itu.
Setelah berdiskusi
panjang, akhirnya mereka temukan nama acara itu: ‘Obrolan Santai di Warung
Kopi’. September 1973, mereka mulai siaran. Jam siaran setiap hari kamis malam
pada jam 20.30 sampai 21.15. Tak ada persiapan apa pun. Ide guyonan selalu
ditemukan ketika akan siaran. Dan ceritanya seenaknya saja.
Nama warung kopi
disematkan sebagai tempat yang paling demokratis untuk membicarakan hal-hal
hangat di negeri ini. Konsep siaran bergaya komunikatif dan berkesan orang
kampung memang menjadi cara menarik minat orang untuk mendengarkan siaran
mereka. Untuk itu, masing-masing punya aksen suara yang berbeda. Kasino
menirukan logat China dan Padang. Nanu dengan logat Batak, dan Rudy Badil
dengan aksen Jawa.
Tahun 1974, Dono
direkrut untuk bergabung di acara itu. Ia dikenal sebagai salah satu aktivis
UI. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS, sekarang FISIP) itu dikenal tak banyak
bicara. Namun sekali berbicara, banyak orang tertawa. Apalagi aksen Jawa-nya
kental.
“Dari materinya, acara
ini sering nyinggung juga tentang anti modal asing. Tapi, sentilannya tidak
kentara. Halus banget. Kita tahu, arahnya ke masalah hangat juga,” tutur Indro.
15 Januari 1974. Saat
itu Tanaka tiba di Jakarta. Mahasiswa melangsungkan aksi unjuk rasa di Bandar
Udara Halim Perdanakusuma. Tiga pokok tuntutan mahasiswa dalam aksi itu;
pertama, pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi yang berkaitan
dengan modal asing yang didominasi Jepang, dan pembubaran lembaga yang tidak
konstitusional.
Aksi kedatangan Tanaka
kemudian meluas di beberapa tempat lainnya di Jakarta. Ironinya, terjadi
kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan. Mobil dan motor buatan Negeri Sakura
itu, dibakar massa. Asap mengepul di segala penjuru.
Peristiwa itu, akhirnya
dikenal dengan ‘Malari 74’, kependekan dari Malapetaka Lima Belas Januari 1974.
Dari kejadian itu, diperkirakan, 11 orang meninggal, 300 orang luka-luka, 775
orang ditahan, ribuan mobil dan motor rusak serta terbakar. Ratusan kilogram
emas hilang di sejumlah toko perhiasan.
Saat berlangsung unjuk
rasa anti Tanaka, Wahjoe Sardono alias Dono berada di antara kerumunan massa di
kampus UI, Salemba, Jakarta Pusat. Dengan membawa kamera, ia berupaya mendekati
podium. Dono meraih mikrofon, lantas menyorongkannya kepada Rektor UI Prof.
Mahar Mardjono untuk berorasi di hadapan massa.
Dono tidak hanya ikut
aksi demo. Ia juga sibuk memotret semua peristiwa aksi. Banyak wartawan yang
sudah mengenalnya sebagai pelawak di Radio Prambors. Kepada salah satu media di
Jakarta, Dono mengatakan dengan berkelakar,” Tadinya saya punya niat untuk ikut
demonstrasi yang dibayar.”
“Saya kan terkenal.
Jadi kalau demonstrasi bisa cepet ngumpulin banyak orang. Kan, lagi krisis,
wajar kalau orang nyari duit,” kelakar Dono kepada wartawan.
Dono sebenarnya ingin
ikut bicara dan memberikan lawakannya untuk menghibur massa. “Tapi. Tidak
diberi mikropon, jadinya batal.”
Sehari sebelum kejadian,
Indro baru pulang dari Filipina menjadi kontingen Indonesia untuk acara Jambore
Internasional. Tiba di Bandar Udara Kemayoran, Indro kaget. Banyak tentara.
“Gue pikir, kontingen pramuka disambut. Hebat banget,” kenang Indro. Saat itu
ia masih kelas 1 SMA.
Dalam kontingen, turut
serta anak Pakubuwono. Indro diminta menjaganya. Semua anggota Pramuka dibawa
masuk ke dalam ruangan VIP. Lantas langsung dilarikan ke rumah kediaman
Pakubuwono di Jalan Mendut, Menteng. Indro memilih pulang ke rumahnya. Firasat
Indro, akan ada kejadian luar biasa di Jakarta. “Seharusnya kontingen dimasukan
dulu ke karantina,” tuturnya.
“Besoknya gue baru
tahu, kalau ternyata ada demo besar-besaran dan terjadi pembakaran.”
Jakarta mencekam. Di
kampus UI, Salemba sudah ramai pengunjuk rasa. Indro berjalan kaki dari
rumahnya ke kampus UI Salemba. Di sana, ia melihat situasi yang mengerikan.
Pembakaran mobil dan motor banyak dilakukan di jalan-jalan. “Saya juga sempat
nolong orang tua yang ketakutan,” tuturnya.
Sementara itu Kasino
juga berada di antara massa yang berada di Bandar Udara Halim. Saat itu, dia
menjabat sebagai Wakil Senat Mahasiswa FIS UI. Massa mahasiswa dan polisi sudah
saling berhadapan. Polisi anti huru-hara dipersenjatai tameng rotan dan alat
setrum. “Ye…beraninya pake setrum,” tutur Kasino.
Tiba-tiba, polisi
menyerang pengunjuk rasa. Kasino dikejar-kejar sampai ke komplek Angkatan Udara
yang tak jauh dari Bandara. Ia terpojok. Dengan posisi itu, Kasino mengatakan,
“Jangan pukul dong pak. Saya kan cuma ikut-ikutan.” Kasino tidak jadi dipukul.
Masa-masa itu telah
berlalu. Usai peristiwa Malari 1974, Warkop Prambors tetap mengudara dengan
guyonan lucunya. Tahun 1976, barulah Indro bergabung. Ia sudah mengenal empat
anggota Warkop Prambors. Maklum, rumahnya dekat dengan studio. Jika ada yang
siaran sendiri, ia yang menemaninya. Saat itu, Indro masih kelas 3 di SMA 4
Jakarta.
Di radio Prambors,
Indro bukan orang baru. Rumahnya berdekatan dengan radio itu. Nama Prambors
diambil dari gabungan jalan di kawasan Menteng. Kepanjangan dari Jalan
Prambanan, Mendut, Borobudur dan sekitarnya. Awalnya disematkan untuk Rukun
Tetangga (RT) di sekitar situ. Julukannya, RT Prambors.
Saat itu, Radio
Prambors hanya amatiran. Kakak sepupunya, Yudi, salah satu orang yang
mendirikan sebelum radio itu akhirnya berubah fungsi menjadi radio bisnis. “Pas
siaran, gue juga yang sering nemenin penyiarnya,” ujarnya.
Kasino yang mengajak
Indro untuk mulai permanen di acaranya. Saat itu, sedang ada pertandingan
softball. Indro menjadi pemain sekaligus tukang soraknya. “Ndro, nanti malam
elu mulai permanen. Mau nggak?” Tanya Kasino seusainya. Indro langsung menerima
ajakannya. Tak hanya di acara itu, Indro mulai diajak show Warkop.
Formasi acara obrolan
di warung kopi menjadi lima orang. Kasino, Nanu, Rudy Badil, Dono, dan Indro.
Tak ayal, acara ini kian ramai. Masing-masing punya perannya sendiri. Kasino
kadang berganti nama menjadi Acing dan Acong dengan logat China. Nanu menjadi
Poltak yang beraksen Batak. Rudy Badil berganti nama menjadi Mr. James dan Bang
Kholil.
“Gue berperan sebagai
Mastowi, Ubai dan Ashori dengan aksen Purbalingga. Sedangkan Dono sebagai Mas
Slamet,” kata Indro.
“Pokoknya, semua isi
obrolan bebas banget. Tentang apa aja,” kata Indro.
Nama kelompok mereka
disebut dengan julukan Warkop Prambors. Pentas kali pertama tahun bulan
September 1976, saat pesta perpisahan SMP 9 Jakarta di Hotel Indonesia.
Hasilnya dikatakan belum berhasil. Semua personil gemetaran. Mereka dapat honor
transport Rp20 ribu. Indro belum bergabung.
Pentas kali pertama
Indro di acara SMP 1 Cikini, Jakarta. Sebelum pentas, Dono harus mojok dulu
untuk menenangkan dirinya. Rudy Badil, menolak mentas. “Badil dikenal demam
panggung,” ujarnya. “Kalau Dono, harus pelajarin dulu materi guyonannya.
Sebelum pentas, Dono ngumpet.”
Tak lama kemudian,
Warkop diundang di acara IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Mereka bertemu dengan
Mus Mualim, seorang pemain musik ‘Indonesia Lima’. Mus berencana membuat acara
untuk tahun baru 1977 di TVRI alias Televisi Nasional Indonesia. Warkop ditawarin
untuk nyanyi bareng oleh Mus Mualim. Nama acaranya Terminal Musikal, tempat
anak muda yang mangkal di TVRI .
“Yang brengsek itu
Nanu. Pas pentas di IDI itu. Ia malahan nggak jelas keberadaannya. Nggak tahu,
ia ngumpet di mana,” kisah Indro.
“Mentas cuma bertiga.
Gue, Dono, ama Kasino. Dono aja masih gugup. Jadi tinggal gue ama Kasino yang
peran abis-abisan.”
Dari situlah, Warkop
Prambors mulai dibesarkan. Semua media di Indonesia, banyak membicarakan
kelompok lawakan ini. Guyonan Warkop akhirnya dikasetkan. Ada sembilan kaset.
Kaset pertamanya berjudul cangkir kopi. Direkam langsung saat pementasan di
Palembang. Di kaset kelima berjudul Pingin Melek Hukum. Indro berperan sebagai
mahasiswa penyuluh hukum, sedangkan Kasino dan Dono sebagai warganya.
Ketenaran di radio dan
di pementasan membuat Hasrat Juwil, eksekutif produser PT. Bola Dunia melirik
Warkop Prambors. Hasrat yang juga anak Prambors, menghubungi Warkop untuk
bermain film. Soal skenario, Warkop diberikan kebebasan. Honor pertama untuk
Warkop Rp15 juta. “Uang itu, kami bagi rata,” ujar Indro.
Film pertamanya
berjudul; Mana Tahan di produksi tahun 1979. Artis perempuannya Elvy Sukaesih.
Film terakhirnya berjudul; Pencet Sana Pencet Sini, dibuat tahun 1994. Artis
pendukungnya, Sally Marcellina dan Taffana Dewi. Selama 15 tahun itu, Warkop
telah membintangi 34 film.
Beberapa perusahaan
film yang pernah melibatkan Warkop, antara lain PT. Nugraha Mas Film, PT.
Parkit Film, dan PT. Garuda Film. Sejak tahun 1985, akhirnya diambil alih oleh
PT. Soraya Intercine Film yang dimiliki oleh keluarga Soraya. Saat itu
direkturnya, Raam Soraya.
“Raam sangat membantu
keluarga Warkop. Sampai sekarang pun, ia tetap memperhatikan anak-anak kami. Ia
juga, masih ingin bekerja sama dengan Warkop,” ujar Indro.
Tahun 1983, hari yang
sangat menyedihkan bagi Warkop, Nanu bernama asli Nanu Mulyono, meninggal dunia
akibat sakit ginjal. Dikuburkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Ia hanya sempat
memerankan beberapa film saja. Sedangkan Rudy Badil, tidak pernah sama sekali
terlibat dalam pembuatan film. Warkop akhirnya tinggal bertiga, Dono, Kasino
Indro.
Nama Warkop Prambors
akhirnya berubah menjadi Warkop DKI. Embel-embel Prambors dilepaskan untuk
menghindari pembayaran royalti kepada Radio Prambors.
“Dulu sempat ada
permainan anak-anak yang menyebutkan istilah DKI dengan nama Dono, Kasino,
Indro. Kita kaget. Kok ada permainan yang dikarang oleh anak-anak dengan nama
kami. Kenapa kita tidak pake aja nama DKI” tutur Indro.
Sejak itulah mereka
bersepakat menambah DKI di depan kata Warkop
“Akhirnya, berganti deh
menjadi Warkop DKI. Terus diplesetin lagi, DKI itu kependekan dari Daerah
Khusus Ibukota.” Indro tertawa.
Film yang dibintangi
Warkop DKI semakin menarik perhatian masyarakat. Semua orang membicarakannya.
Film yang mereka bintangi pun menjadi film Indonesia termahal dan paling laris.
Era tahun 1980-1990,
perfilman Indonesia berada di puncaknya. Di antara begitu banyak film yang
diproduksi pada saat itu, film yang dibintangi Warkop DKI dan Rhoma Irama,
merupakan dua film yang selalu ditunggu oleh penonton.
Pada masa jayanya, film
Warkop DKI tidak hanya ditayangkan bioskop lokal. Jaringan bioskop untuk orang
kelas menengah ke atas, Teater 21, sering menayangkan film mereka. Tak hanya
itu, di kampung-kampung diadakan ‘layar tancap’ yang menayangkan film Warkop
DKI. Masyarakat pun berbondong-bondong untuk selalu menjadi tontonan menarik
bagi masyarakat.
“Kita punya kelas
penonton sendiri. Semua orang di Indonesia, selalu membicarakan kelompok Warkop
DKI,” kenang Indro.
Dengan semakin
terkenalnya, Warkop banyak mendapat undangan ke daerah di seluruh Indonesia.
Kisah yang tidak terlupakan, kenang Indro, saat berkunjung ke Timika, Papua.
Masyarakat di sana
memadati lapangan dengan mengenakan koteka. Selama berlangsung dialog lawakan,
tak ada satu pun warga yang tertawa. “Kami bingung,” tuturnya. Koteka adalah
alat penutup kemaluan untuk pria. Di buat dari buah labu. Isi dan bijinya
dibuang dan dijemur. Setelah kering, baru bisa dijadikan penutup kemaluan.
Tiba-tiba Dono
berinisiatif. Ia berlari-larian dengan gayanya yang lucu di atas panggung,”
Indro memperagakan gaya Dono kepada saya. Gaya Dono, tiru Indro, bergoyak dan
melenggokan tubuh sambil tertawa-tawa.
“Saya dan Kasino,
ikutan juga bergaya kayak Dono. Eh…penonton baru pada ketawaan,” kenang Indro
sambil tertawa.
Kocak Warkop DKI selalu
ramai oleh penonton. Kelompok ini, tidak pernah surut dari zaman dan tidak
pernah sepi dari kelucuan. Di mana ada Warkop, disitu orang tertawa.juga, masih
ingin bekerja sama dengan Warkop,” ujar Indro.
Tahun 1983, hari yang
sangat menyedihkan bagi Warkop, Nanu bernama asli Nanu Mulyono, meninggal dunia
akibat sakit ginjal. Dikuburkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Ia hanya sempat
memerankan beberapa film saja. Sedangkan Rudy Badil, tidak pernah sama sekali
terlibat dalam pembuatan film. Warkop akhirnya tinggal bertiga, Dono, Kasino
Indro.
Nama Warkop Prambors
akhirnya berubah menjadi Warkop DKI. Embel-embel Prambors dilepaskan untuk
menghindari pembayaran royalti kepada Radio Prambors.
“Dulu sempat ada
permainan anak-anak yang menyebutkan istilah DKI dengan nama Dono, Kasino,
Indro. Kita kaget. Kok ada permainan yang dikarang oleh anak-anak dengan nama
kami. Kenapa kita tidak pake aja nama DKI” tutur Indro.
Sejak itulah mereka
bersepakat menambah DKI di depan kata Warkop
“Akhirnya, berganti deh
menjadi Warkop DKI. Terus diplesetin lagi, DKI itu kependekan dari Daerah
Khusus Ibukota.” Indro tertawa.
Film yang dibintangi
Warkop DKI semakin menarik perhatian masyarakat. Semua orang membicarakannya.
Film yang mereka bintangi pun menjadi film Indonesia termahal dan paling
laris.
Era tahun 1980-1990,
perfilman Indonesia berada di puncaknya. Di antara begitu banyak film yang
diproduksi pada saat itu, film yang dibintangi Warkop DKI dan Rhoma Irama,
merupakan dua film yang selalu ditunggu oleh penonton.
Pada masa jayanya, film
Warkop DKI tidak hanya ditayangkan bioskop lokal. Jaringan bioskop untuk orang
kelas menengah ke atas, Teater 21, sering menayangkan film mereka. Tak hanya
itu, di kampung-kampung diadakan ‘layar tancap’ yang menayangkan film Warkop
DKI. Masyarakat pun berbondong-bondong untuk selalu menjadi tontonan menarik
bagi masyarakat.
“Kita punya kelas
penonton sendiri. Semua orang di Indonesia, selalu membicarakan kelompok Warkop
DKI,” kenang Indro.
Dengan semakin
terkenalnya, Warkop banyak mendapat undangan ke daerah di seluruh Indonesia.
Kisah yang tidak terlupakan, kenang Indro, saat berkunjung ke Timika, Papua.
Masyarakat di sana
memadati lapangan dengan mengenakan koteka. Selama berlangsung dialog lawakan,
tak ada satu pun warga yang tertawa. “Kami bingung,” tuturnya. Koteka adalah
alat penutup kemaluan untuk pria. Di buat dari buah labu. Isi dan bijinya
dibuang dan dijemur. Setelah kering, baru bisa dijadikan penutup
kemaluan.
Tiba-tiba Dono
berinisiatif. Ia berlari-larian dengan gayanya yang lucu di atas panggung,”
Indro memperagakan gaya Dono kepada saya. Gaya Dono, tiru Indro, bergoyak dan
melenggokan tubuh sambil tertawa-tawa.
“Saya dan Kasino,
ikutan juga bergaya kayak Dono. Eh…penonton baru pada ketawaan,” kenang Indro
sambil tertawa.
Kocak Warkop DKI selalu
ramai oleh penonton. Kelompok ini, tidak pernah surut dari zaman dan tidak
pernah sepi dari kelucuan. Di mana ada Warkop, disitu orang tertawa.