Artikel Telematika
Di dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Telematika. Kata telematika berasal dari istilah dalam bahasa Perancis TELEMATIQUE yang merujuk pada bertemunya sistem jaringan komunikasi dengan teknologi informasi. Istilah telematika merujuk pada hakekat cyberspace sebagai suatu sistem elektronik yang lahir dari perkembangan dan konvergensi telekomunikasi, media dan informatika. Istilah Teknologi Informasi itu sendiri merujuk pada perkembangan teknologi perangkat-perangkat pengolah informasi. Para praktisi menyatakan bahwa TELEMATICS adalah singkatan dari TELECOMMUNICATION and INFORMATICS sebagai wujud dari perpaduan konsep Computing and Communication. Istilah Telematics juga dikenal sebagai {the new hybrid technology} yang lahir karena perkembangan teknologi digital. Perkembangan ini memicu perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika menjadi semakin terpadu atau populer dengan istilah konvergensi. Semula Media masih belum menjadi bagian integral dari isu konvergensi teknologi informasi dan komunikasi pada saat itu. Belakangan baru disadari bahwa penggunaan sistem komputer dan sistem komunikasi ternyata juga menghadirkan Media Komunikasi baru. Lebih jauh lagi istilah TELEMATIKA kemudian merujuk pada perkembangan konvergensi antara teknologi TELEKOMUNIKASI, MEDIA dan INFORMATIKA yang semula masing-masing berkembang secara terpisah. Konvergensi TELEMATIKA kemudian dipahami sebagai sistem elektronik berbasiskan teknologi digital atau {the Net}. Dalam perkembangannya istilah Media dalam TELEMATIKA berkembang menjadi wacana MULTIMEDIA. Hal ini sedikit membingungkan masyarakat, karena istilah Multimedia semula hanya merujuk pada kemampuan sistem komputer untuk mengolah informasi dalam berbagai medium. Adalah suatu ambiguitas jika istilah TELEMATIKA dipahami sebagai akronim Telekomunikasi, Multimedia dan Informatika. Secara garis besar istilah Teknologi Informasi (TI), TELEMATIKA, MULTIMEDIA, maupun Information and Communication Technologies (ICT) mungkin tidak jauh berbeda maknanya, namun sebagai definisi sangat tergantung kepada lingkup dan sudut pandang pengkajiannya
Pengertian Kebudayaan
Pengertian Kebudayaan dan
Penjelasannya| Kata "kebudayaan
berasal dari (bahasa Sanskerta) yaitu
"buddayah" yang merupakan bentuk jamak
dari kata "budhi" yang berarti budi atau
akal. Kebudayaan diartikan sebagai "hal-
hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal". Pengertian Kebudayaan secara
umum adalah hasil cipta, rasa dan karsa
manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yang kompleks yang mencakup
pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum
adat dan setiap kecakapan, dan
kebiasaan. Sedangkan menurut
definisi Koentjaraningrat yang
mengatakan bahwa pengertian
kebudayaan adalah keseluruhan manusia
dari kelakuan dan hasil yang harus
didapatkannya dengan belajar dan semua
itu tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Senada dengan Koentjaraningrat,
didefinisikan oleh Selo Soemardjan dan
Soelaeman Soenardi , pada bukunya
Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta
:Yayasan Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), hal
113, merumuskan kebudayaan sebagai
semua hasil karya, cipta, dan rasa
masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(material culture) yang diperlukan oleh
manusia untuk menguasai alam sekitarnya
agar kekuatan serta hasilnya dapat
diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Pengertian Kebudayaan dalam bahasa inggris disebut culture .
merupakan suatu istilah yang relatif baru karena istilah
culture sendiri dalam bahasa inggris baru muncul pada
pertengahan abad ke-19. Sebelumnya pada tahun 1843 para
ahli antropologi memberi arti kebudayaan sebagai cara
mengolah tanah, usaha bercocok tanam, sebagaimana tercermin
dalam istilah agriculture dan holticulture. Hal ini bisa kita
mengerti karena istilah culture berasal dari bahasa Latin
colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah pertanian.
Pada arti kiasan kata itu juga berarti "pembentukan dan
pemurnian jiwa". Seorang antropolog lain, E.B. Tylor (1871) ,
dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (New York ;
Brentano's, 1924), hal 1, yang mendefinisikan pengertian
kebudayaan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-
kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
"Pengertian Kebudayaan dan Penjelasannya"
Unsur-unsur kebudayaan digolongkan kepada unsur besar dan
unsur kecil yang lazimnya disebut dengan istilah culture
universal karena di setiap penjuru dunia manapun kebudayaan
tersebut dapat ditemukan, seperti pakaian, tempat tinggal,
dan lain sebagainya. Beberapa dari orang yang sarjana telah
mencoba merumuskan unsur-unsur pokok kebudayaan, seperti
Bronislaw Malinowski dan C. Kluckhoh.
a. Bronislaw Malinowski
Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa ada empat unsur pokok
kebudayaan yang meliputi sebagai berikut...
Sistem norma-norma yang memungkinkan kerja sama
antaranggota masyarakat agar menyesuaikan dengan alam
sekelilingnya.
Organisasi ekonomi
Alat dan lembaga atau petugas untuk pendidikan (keluarga
adalah lembaga pendidikan utama).
Organisasi kekuatan (politik)
b. C. Kliucckhohn
Kliucckhohn menyebutkan ada tujuh unsur kebudayaan, yaitu
sistem mata pencaharian hidup; sistem peralatan dan
teknologi; sistem organisasi kemasyarakatan; sistem
pengetahuan; bahasa; kesenian; sistem religi dan upacara
keagamaan.
c. Herskovits
Herskovits memandang bahwa kebudayaan merupakan sebagai
sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi
yang lain yang kemudian disebut sebagai superorganik.
d. Andreas Eppink
Kebudayaan mengandung bentuk dari keseluruhan pengertian
nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi
segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri
khas suatu masyarakat.
e. Edward Burnett Tylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan dari yang kompleks yang
didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri-ciri khusus dari sebuah
kebudayaan yang masing-masing masyarakat yang berbeda.
Pada masyarakat Barat makan sambil berjalan, bahkan
setengah berlari adalah hal yang biasa karena bagi mereka
the time is money. Hal ini jelas berbeda dengan masyarakat
timur. Jangankan makan sambil berjalan, bahkan makan berdiri
saja sudah melanggar etika. Walaupun demikian, secara garis
besar, seluruh kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki sifat-
sifat hakikat yang sama. Sifat-sifat hakikat kebudayaan
sebagai berikut...
Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku
manusia.
Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya
suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan
habisnya usia generasi yang bersangkutan.
Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan tingkah
lakunya.
Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan
kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan
ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-
tindakan yang diizinkan.
Semua kebudayaan senantiasa bergerak karena ia dinamis
karena sebenarnya gerak kebudayaan adalah gerak manusia
itu sendiri. Gerak atau dinamika manusia sesama manusia, atau
dari satu daerah kebudayaan daerah lain, baik disengaja
maupun tidak disengaja, seperti migrasi atau pengungsian
dengan sebab-sebab tertentu. Dinamika dalam membawa
kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain yang
menyebabkan terjadinya akulturasi.
Proses akulturasi kebudayaan dalam sejarah umat manusia
telah terjadi pada umat atau bangsa-bangsa terdahulu.
Dimana Adakalanya kebudayaan yang dibawa dapat dengan
mudah diterima oleh masyarakat setempat dan adakalanya
ditolak, parahnya ada juga sekelompok individu yang tetap
tidak menerima kebudayaan asing walaupun mayoritas kelompok
individu di sekelilingnya sudah menjadikan kebudayaan tersebut
bagian dari kebudayaannya.
Pada umumnya, unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah
diterima adalah sebagai berikut..
Unsur Kebudayaan kebendaan, seperti alat-peralatan yang
terutama sangat mudah dipakai dan dirasakan sangat
bermanfaat bagi masyarakat yang menerimanya, contohnya
adalah pada alat tulis menulis yang banyak dipergunakan
orang Indonesia yang diambil dari unsur-unsur kebudayaan
barat.
Unsur-unsur yang terbukti membawa manfaat besar misalnya
radio transistor yang banyak membawa kegunaan terutama
sebagai alat mass-media.
Unsur-unsur yang dengan mudah disesuaikan dengan
keadaan masyarakat yang menerima unsur-unsur tersebut,
seperti mesin penggiling padi dengan biaya murah serta
pengetahuan teknis yang sederhana, dapat digunakan
untuk melengkapi pabrik-pabrik penggilingan.
Unsur-unsur kebudayaan yang sulit diterima oleh suatu
masyarakat adalah sebagai berikut...
Unsur yang menyangkut sistem kepercayaan, seperti
ideologi, falsafah hidup, dan lainnya
Unsur-unsur yang dipelajari pada taraf pertama proses
sosialisasi. Contoh yang sangat mudah adalah soal
makanan pokok suatu masyarakat. Nasi merupakan makanan
pokok sebagian besar masyarakat indonesia sukar sekali
diubah dengan makanan pokok lainnya.
ASAL MULA NAMA NEGARA INDONESIA
Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan
Australia dengan aneka nama.
Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai
Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini
Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari
kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah
Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri
Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas",
diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir
al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama
bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab
memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh
di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil
"orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari
luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera),
Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi
("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan
bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi
mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah
Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan
Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini
memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel
Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama
lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische
Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama
resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang
1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah
taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama
samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan
kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga
"Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti
pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah
menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah
tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI:
"Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James
Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari
Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris,
George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi
majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl
menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and
Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa
Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama
Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl
mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos"
dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu
tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu
masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang
Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan
Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat
untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan
Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl
berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam
tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai
istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James
Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago
("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun
menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah
Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan
membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan
huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah
Indonesia.
Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap
meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang
dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan
tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi
"Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung
"Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni
"Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau
Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan
tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak
saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam
tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di
kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin
yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die
Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan
Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika
mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah
yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda,
sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan
Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam
Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian
mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah
"Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika
dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama
Indonesische Persbureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk
"Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch
("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan
itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia").
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang
merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh
tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama
"Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu
bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda
mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang
mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi
pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908
dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging
atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama
menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de
toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut
"Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat
menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club
pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama
menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond
membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga
organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia".
Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa,
dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928,
yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan
Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho
Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah
Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama
"Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942,
lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945,
menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.
ASAL USUL WARKOP DKI
Tahun 1973 di
Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung
konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana kedatangan Perdana Menteri
Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di
sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya
ramai dan tidak menjenuhkan.
Ide penentangan Tanaka
berawal saat berlangsungnya diskusi di UI pada Agustus 1973. Pembicaranya,
Subadio Sastrosatomo, Sjaffruddin Prawinegara, Ali Sastroamidjojo dan TB
Simatupang. Saat itu mereka mendiskusikan soal peran modal asing.
Temmy Lesanpura,
mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui Kasino, Nanu, dan
Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia menawari ketiganya
untuk mengisi acara radio Prambors. “Mau nggak isi acara di Prambors,” tanya
Temmy. Ketiganya setuju. Namun mereka masih bingung apa nama acara itu.
Setelah berdiskusi
panjang, akhirnya mereka temukan nama acara itu: ‘Obrolan Santai di Warung
Kopi’. September 1973, mereka mulai siaran. Jam siaran setiap hari kamis malam
pada jam 20.30 sampai 21.15. Tak ada persiapan apa pun. Ide guyonan selalu
ditemukan ketika akan siaran. Dan ceritanya seenaknya saja.
Nama warung kopi
disematkan sebagai tempat yang paling demokratis untuk membicarakan hal-hal
hangat di negeri ini. Konsep siaran bergaya komunikatif dan berkesan orang kampung
memang menjadi cara menarik minat orang untuk mendengarkan siaran mereka. Untuk
itu, masing-masing punya aksen suara yang berbeda. Kasino menirukan logat China
dan Padang. Nanu dengan logat Batak, dan Rudy Badil dengan aksen Jawa.
Tahun 1974, Dono direkrut
untuk bergabung di acara itu. Ia dikenal sebagai salah satu aktivis UI.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS, sekarang FISIP) itu dikenal tak banyak
bicara. Namun sekali berbicara, banyak orang tertawa. Apalagi aksen Jawa-nya
kental.
“Dari materinya, acara
ini sering nyinggung juga tentang anti modal asing. Tapi, sentilannya tidak
kentara. Halus banget. Kita tahu, arahnya ke masalah hangat juga,” tutur
Indro.
15 Januari 1974. Saat
itu Tanaka tiba di Jakarta. Mahasiswa melangsungkan aksi unjuk rasa di Bandar
Udara Halim Perdanakusuma. Tiga pokok tuntutan mahasiswa dalam aksi itu;
pertama, pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi yang berkaitan
dengan modal asing yang didominasi Jepang, dan pembubaran lembaga yang tidak
konstitusional.
Aksi kedatangan Tanaka
kemudian meluas di beberapa tempat lainnya di Jakarta. Ironinya, terjadi
kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan. Mobil dan motor buatan Negeri Sakura
itu, dibakar massa. Asap mengepul di segala penjuru.
Peristiwa itu, akhirnya
dikenal dengan ‘Malari 74’, kependekan dari Malapetaka Lima Belas Januari 1974.
Dari kejadian itu, diperkirakan, 11 orang meninggal, 300 orang luka-luka, 775
orang ditahan, ribuan mobil dan motor rusak serta terbakar. Ratusan kilogram
emas hilang di sejumlah toko perhiasan.
Saat berlangsung unjuk
rasa anti Tanaka, Wahjoe Sardono alias Dono berada di antara kerumunan massa di
kampus UI, Salemba, Jakarta Pusat. Dengan membawa kamera, ia berupaya mendekati
podium. Dono meraih mikrofon, lantas menyorongkannya kepada Rektor UI Prof.
Mahar Mardjono untuk berorasi di hadapan massa.
Dono tidak hanya ikut
aksi demo. Ia juga sibuk memotret semua peristiwa aksi. Banyak wartawan yang
sudah mengenalnya sebagai pelawak di Radio Prambors. Kepada salah satu media di
Jakarta, Dono mengatakan dengan berkelakar,” Tadinya saya punya niat untuk ikut
demonstrasi yang dibayar.”
“Saya kan terkenal.
Jadi kalau demonstrasi bisa cepet ngumpulin banyak orang. Kan, lagi krisis,
wajar kalau orang nyari duit,” kelakar Dono kepada wartawan.
Dono sebenarnya ingin
ikut bicara dan memberikan lawakannya untuk menghibur massa. “Tapi. Tidak
diberi mikropon, jadinya batal.”
Sehari sebelum
kejadian, Indro baru pulang dari Filipina menjadi kontingen Indonesia untuk
acara Jambore Internasional. Tiba di Bandar Udara Kemayoran, Indro kaget.
Banyak tentara. “Gue pikir, kontingen pramuka disambut. Hebat banget,” kenang
Indro. Saat itu ia masih kelas 1 SMA.
Dalam kontingen, turut
serta anak Pakubuwono. Indro diminta menjaganya. Semua anggota Pramuka dibawa
masuk ke dalam ruangan VIP. Lantas langsung dilarikan ke rumah kediaman
Pakubuwono di Jalan Mendut, Menteng. Indro memilih pulang ke rumahnya. Firasat
Indro, akan ada kejadian luar biasa di Jakarta. “Seharusnya kontingen dimasukan
dulu ke karantina,” tuturnya.
“Besoknya gue baru
tahu, kalau ternyata ada demo besar-besaran dan terjadi pembakaran.”
Jakarta mencekam. Di
kampus UI, Salemba sudah ramai pengunjuk rasa. Indro berjalan kaki dari
rumahnya ke kampus UI Salemba. Di sana, ia melihat situasi yang mengerikan.
Pembakaran mobil dan motor banyak dilakukan di jalan-jalan. “Saya juga sempat
nolong orang tua yang ketakutan,” tuturnya.
Sementara itu Kasino
juga berada di antara massa yang berada di Bandar Udara Halim. Saat itu, dia
menjabat sebagai Wakil Senat Mahasiswa FIS UI. Massa mahasiswa dan polisi sudah
saling berhadapan. Polisi anti huru-hara dipersenjatai tameng rotan dan alat
setrum. “Ye…beraninya pake setrum,” tutur Kasino.
Tiba-tiba, polisi
menyerang pengunjuk rasa. Kasino dikejar-kejar sampai ke komplek Angkatan Udara
yang tak jauh dari Bandara. Ia terpojok. Dengan posisi itu, Kasino mengatakan,
“Jangan pukul dong pak. Saya kan cuma ikut-ikutan.” Kasino tidak jadi dipukul.
Masa-masa itu telah
berlalu. Usai peristiwa Malari 1974, Warkop Prambors tetap mengudara dengan
guyonan lucunya. Tahun 1976, barulah Indro bergabung. Ia sudah mengenal empat
anggota Warkop Prambors. Maklum, rumahnya dekat dengan studio. Jika ada yang
siaran sendiri, ia yang menemaninya. Saat itu, Indro masih kelas 3 di SMA 4
Jakarta.
Di radio Prambors,
Indro bukan orang baru. Rumahnya berdekatan dengan radio itu. Nama Prambors
diambil dari gabungan jalan di kawasan Menteng. Kepanjangan dari Jalan
Prambanan, Mendut, Borobudur dan sekitarnya. Awalnya disematkan untuk Rukun
Tetangga (RT) di sekitar situ. Julukannya, RT Prambors.
Saat itu, Radio
Prambors hanya amatiran. Kakak sepupunya, Yudi, salah satu orang yang
mendirikan sebelum radio itu akhirnya berubah fungsi menjadi radio bisnis. “Pas
siaran, gue juga yang sering nemenin penyiarnya,” ujarnya.
Kasino yang mengajak
Indro untuk mulai permanen di acaranya. Saat itu, sedang ada pertandingan
softball. Indro menjadi pemain sekaligus tukang soraknya. “Ndro, nanti malam
elu mulai permanen. Mau nggak?” Tanya Kasino seusainya. Indro langsung menerima
ajakannya. Tak hanya di acara itu, Indro mulai diajak show Warkop.
Formasi acara obrolan
di warung kopi menjadi lima orang. Kasino, Nanu, Rudy Badil, Dono, dan Indro.
Tak ayal, acara ini kian ramai. Masing-masing punya perannya sendiri. Kasino
kadang berganti nama menjadi Acing dan Acong dengan logat China. Nanu menjadi
Poltak yang beraksen Batak. Rudy Badil berganti nama menjadi Mr. James dan Bang
Kholil.
“Gue berperan sebagai
Mastowi, Ubai dan Ashori dengan aksen Purbalingga. Sedangkan Dono sebagai Mas
Slamet,” kata Indro.
“Pokoknya, semua isi
obrolan bebas banget. Tentang apa aja,” kata Indro.
Nama kelompok mereka
disebut dengan julukan Warkop Prambors. Pentas kali pertama tahun bulan
September 1976, saat pesta perpisahan SMP 9 Jakarta di Hotel Indonesia.
Hasilnya dikatakan belum berhasil. Semua personil gemetaran. Mereka dapat honor
transport Rp20 ribu. Indro belum bergabung.
Pentas kali pertama
Indro di acara SMP 1 Cikini, Jakarta. Sebelum pentas, Dono harus mojok dulu
untuk menenangkan dirinya. Rudy Badil, menolak mentas. “Badil dikenal demam
panggung,” ujarnya. “Kalau Dono, harus pelajarin dulu materi guyonannya.
Sebelum pentas, Dono ngumpet.”
Tak lama kemudian,
Warkop diundang di acara IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Mereka bertemu dengan
Mus Mualim, seorang pemain musik ‘Indonesia Lima’. Mus berencana membuat acara
untuk tahun baru 1977 di TVRI alias Televisi Nasional Indonesia. Warkop
ditawarin untuk nyanyi bareng oleh Mus Mualim. Nama acaranya Terminal Musikal,
tempat anak muda yang mangkal di TVRI .
“Yang brengsek itu
Nanu. Pas pentas di IDI itu. Ia malahan nggak jelas keberadaannya. Nggak tahu,
ia ngumpet di mana,” kisah Indro.
“Mentas cuma bertiga.
Gue, Dono, ama Kasino. Dono aja masih gugup. Jadi tinggal gue ama Kasino yang
peran abis-abisan.”
Dari situlah, Warkop
Prambors mulai dibesarkan. Semua media di Indonesia, banyak membicarakan
kelompok lawakan ini. Guyonan Warkop akhirnya dikasetkan. Ada sembilan kaset.
Kaset pertamanya berjudul cangkir kopi. Direkam langsung saat pementasan di
Palembang. Di kaset kelima berjudul Pingin Melek Hukum. Indro berperan sebagai
mahasiswa penyuluh hukum, sedangkan Kasino dan Dono sebagai warganya.
Ketenaran di radio dan
di pementasan membuat Hasrat Juwil, eksekutif produser PT. Bola Dunia melirik
Warkop Prambors. Hasrat yang juga anak Prambors, menghubungi Warkop untuk
bermain film. Soal skenario, Warkop diberikan kebebasan. Honor pertama untuk
Warkop Rp15 juta. “Uang itu, kami bagi rata,” ujar Indro.
Film pertamanya
berjudul; Mana Tahan di produksi tahun 1979. Artis perempuannya Elvy Sukaesih.
Film terakhirnya berjudul; Pencet Sana Pencet Sini, dibuat tahun 1994. Artis
pendukungnya, Sally Marcellina dan Taffana Dewi. Selama 15 tahun itu, Warkop
telah membintangi 34 film.
Beberapa perusahaan
film yang pernah melibatkan Warkop, antara lain PT. Nugraha Mas Film, PT.
Parkit Film, dan PT. Garuda Film. Sejak tahun 1985, akhirnya diambil alih oleh
PT. Soraya Intercine Film yang dimiliki oleh keluarga Soraya. Saat itu
direkturnya, Raam Soraya.
“Raam sangat membantu
keluarga Warkop. Sampai sekarang pun, ia tetap memperhatikan anak-anak kami. Ia
ASAL USUL WARKOP DKI
Tahun 1973 di
Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung
konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana kedatangan Perdana Menteri
Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di
sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya
ramai dan tidak menjenuhkan.
Ide penentangan Tanaka
berawal saat berlangsungnya diskusi di UI pada Agustus 1973. Pembicaranya,
Subadio Sastrosatomo, Sjaffruddin Prawinegara, Ali Sastroamidjojo dan TB
Simatupang. Saat itu mereka mendiskusikan soal peran modal asing.
Temmy Lesanpura,
mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui Kasino, Nanu, dan
Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia menawari ketiganya
untuk mengisi acara radio Prambors. “Mau nggak isi acara di Prambors,” tanya
Temmy. Ketiganya setuju. Namun mereka masih bingung apa nama acara itu.
Setelah berdiskusi
panjang, akhirnya mereka temukan nama acara itu: ‘Obrolan Santai di Warung
Kopi’. September 1973, mereka mulai siaran. Jam siaran setiap hari kamis malam
pada jam 20.30 sampai 21.15. Tak ada persiapan apa pun. Ide guyonan selalu
ditemukan ketika akan siaran. Dan ceritanya seenaknya saja.
Nama warung kopi
disematkan sebagai tempat yang paling demokratis untuk membicarakan hal-hal
hangat di negeri ini. Konsep siaran bergaya komunikatif dan berkesan orang
kampung memang menjadi cara menarik minat orang untuk mendengarkan siaran
mereka. Untuk itu, masing-masing punya aksen suara yang berbeda. Kasino
menirukan logat China dan Padang. Nanu dengan logat Batak, dan Rudy Badil
dengan aksen Jawa.
Tahun 1974, Dono
direkrut untuk bergabung di acara itu. Ia dikenal sebagai salah satu aktivis
UI. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS, sekarang FISIP) itu dikenal tak banyak
bicara. Namun sekali berbicara, banyak orang tertawa. Apalagi aksen Jawa-nya
kental.
“Dari materinya, acara
ini sering nyinggung juga tentang anti modal asing. Tapi, sentilannya tidak
kentara. Halus banget. Kita tahu, arahnya ke masalah hangat juga,” tutur Indro.
15 Januari 1974. Saat
itu Tanaka tiba di Jakarta. Mahasiswa melangsungkan aksi unjuk rasa di Bandar
Udara Halim Perdanakusuma. Tiga pokok tuntutan mahasiswa dalam aksi itu;
pertama, pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi yang berkaitan
dengan modal asing yang didominasi Jepang, dan pembubaran lembaga yang tidak
konstitusional.
Aksi kedatangan Tanaka
kemudian meluas di beberapa tempat lainnya di Jakarta. Ironinya, terjadi
kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan. Mobil dan motor buatan Negeri Sakura
itu, dibakar massa. Asap mengepul di segala penjuru.
Peristiwa itu, akhirnya
dikenal dengan ‘Malari 74’, kependekan dari Malapetaka Lima Belas Januari 1974.
Dari kejadian itu, diperkirakan, 11 orang meninggal, 300 orang luka-luka, 775
orang ditahan, ribuan mobil dan motor rusak serta terbakar. Ratusan kilogram
emas hilang di sejumlah toko perhiasan.
Saat berlangsung unjuk
rasa anti Tanaka, Wahjoe Sardono alias Dono berada di antara kerumunan massa di
kampus UI, Salemba, Jakarta Pusat. Dengan membawa kamera, ia berupaya mendekati
podium. Dono meraih mikrofon, lantas menyorongkannya kepada Rektor UI Prof.
Mahar Mardjono untuk berorasi di hadapan massa.
Dono tidak hanya ikut
aksi demo. Ia juga sibuk memotret semua peristiwa aksi. Banyak wartawan yang
sudah mengenalnya sebagai pelawak di Radio Prambors. Kepada salah satu media di
Jakarta, Dono mengatakan dengan berkelakar,” Tadinya saya punya niat untuk ikut
demonstrasi yang dibayar.”
“Saya kan terkenal.
Jadi kalau demonstrasi bisa cepet ngumpulin banyak orang. Kan, lagi krisis,
wajar kalau orang nyari duit,” kelakar Dono kepada wartawan.
Dono sebenarnya ingin
ikut bicara dan memberikan lawakannya untuk menghibur massa. “Tapi. Tidak
diberi mikropon, jadinya batal.”
Sehari sebelum kejadian,
Indro baru pulang dari Filipina menjadi kontingen Indonesia untuk acara Jambore
Internasional. Tiba di Bandar Udara Kemayoran, Indro kaget. Banyak tentara.
“Gue pikir, kontingen pramuka disambut. Hebat banget,” kenang Indro. Saat itu
ia masih kelas 1 SMA.
Dalam kontingen, turut
serta anak Pakubuwono. Indro diminta menjaganya. Semua anggota Pramuka dibawa
masuk ke dalam ruangan VIP. Lantas langsung dilarikan ke rumah kediaman
Pakubuwono di Jalan Mendut, Menteng. Indro memilih pulang ke rumahnya. Firasat
Indro, akan ada kejadian luar biasa di Jakarta. “Seharusnya kontingen dimasukan
dulu ke karantina,” tuturnya.
“Besoknya gue baru
tahu, kalau ternyata ada demo besar-besaran dan terjadi pembakaran.”
Jakarta mencekam. Di
kampus UI, Salemba sudah ramai pengunjuk rasa. Indro berjalan kaki dari
rumahnya ke kampus UI Salemba. Di sana, ia melihat situasi yang mengerikan.
Pembakaran mobil dan motor banyak dilakukan di jalan-jalan. “Saya juga sempat
nolong orang tua yang ketakutan,” tuturnya.
Sementara itu Kasino
juga berada di antara massa yang berada di Bandar Udara Halim. Saat itu, dia
menjabat sebagai Wakil Senat Mahasiswa FIS UI. Massa mahasiswa dan polisi sudah
saling berhadapan. Polisi anti huru-hara dipersenjatai tameng rotan dan alat
setrum. “Ye…beraninya pake setrum,” tutur Kasino.
Tiba-tiba, polisi
menyerang pengunjuk rasa. Kasino dikejar-kejar sampai ke komplek Angkatan Udara
yang tak jauh dari Bandara. Ia terpojok. Dengan posisi itu, Kasino mengatakan,
“Jangan pukul dong pak. Saya kan cuma ikut-ikutan.” Kasino tidak jadi dipukul.
Masa-masa itu telah
berlalu. Usai peristiwa Malari 1974, Warkop Prambors tetap mengudara dengan
guyonan lucunya. Tahun 1976, barulah Indro bergabung. Ia sudah mengenal empat
anggota Warkop Prambors. Maklum, rumahnya dekat dengan studio. Jika ada yang
siaran sendiri, ia yang menemaninya. Saat itu, Indro masih kelas 3 di SMA 4
Jakarta.
Di radio Prambors,
Indro bukan orang baru. Rumahnya berdekatan dengan radio itu. Nama Prambors
diambil dari gabungan jalan di kawasan Menteng. Kepanjangan dari Jalan
Prambanan, Mendut, Borobudur dan sekitarnya. Awalnya disematkan untuk Rukun
Tetangga (RT) di sekitar situ. Julukannya, RT Prambors.
Saat itu, Radio
Prambors hanya amatiran. Kakak sepupunya, Yudi, salah satu orang yang
mendirikan sebelum radio itu akhirnya berubah fungsi menjadi radio bisnis. “Pas
siaran, gue juga yang sering nemenin penyiarnya,” ujarnya.
Kasino yang mengajak
Indro untuk mulai permanen di acaranya. Saat itu, sedang ada pertandingan
softball. Indro menjadi pemain sekaligus tukang soraknya. “Ndro, nanti malam
elu mulai permanen. Mau nggak?” Tanya Kasino seusainya. Indro langsung menerima
ajakannya. Tak hanya di acara itu, Indro mulai diajak show Warkop.
Formasi acara obrolan
di warung kopi menjadi lima orang. Kasino, Nanu, Rudy Badil, Dono, dan Indro.
Tak ayal, acara ini kian ramai. Masing-masing punya perannya sendiri. Kasino
kadang berganti nama menjadi Acing dan Acong dengan logat China. Nanu menjadi
Poltak yang beraksen Batak. Rudy Badil berganti nama menjadi Mr. James dan Bang
Kholil.
“Gue berperan sebagai
Mastowi, Ubai dan Ashori dengan aksen Purbalingga. Sedangkan Dono sebagai Mas
Slamet,” kata Indro.
“Pokoknya, semua isi
obrolan bebas banget. Tentang apa aja,” kata Indro.
Nama kelompok mereka
disebut dengan julukan Warkop Prambors. Pentas kali pertama tahun bulan
September 1976, saat pesta perpisahan SMP 9 Jakarta di Hotel Indonesia.
Hasilnya dikatakan belum berhasil. Semua personil gemetaran. Mereka dapat honor
transport Rp20 ribu. Indro belum bergabung.
Pentas kali pertama
Indro di acara SMP 1 Cikini, Jakarta. Sebelum pentas, Dono harus mojok dulu
untuk menenangkan dirinya. Rudy Badil, menolak mentas. “Badil dikenal demam
panggung,” ujarnya. “Kalau Dono, harus pelajarin dulu materi guyonannya.
Sebelum pentas, Dono ngumpet.”
Tak lama kemudian,
Warkop diundang di acara IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Mereka bertemu dengan
Mus Mualim, seorang pemain musik ‘Indonesia Lima’. Mus berencana membuat acara
untuk tahun baru 1977 di TVRI alias Televisi Nasional Indonesia. Warkop ditawarin
untuk nyanyi bareng oleh Mus Mualim. Nama acaranya Terminal Musikal, tempat
anak muda yang mangkal di TVRI .
“Yang brengsek itu
Nanu. Pas pentas di IDI itu. Ia malahan nggak jelas keberadaannya. Nggak tahu,
ia ngumpet di mana,” kisah Indro.
“Mentas cuma bertiga.
Gue, Dono, ama Kasino. Dono aja masih gugup. Jadi tinggal gue ama Kasino yang
peran abis-abisan.”
Dari situlah, Warkop
Prambors mulai dibesarkan. Semua media di Indonesia, banyak membicarakan
kelompok lawakan ini. Guyonan Warkop akhirnya dikasetkan. Ada sembilan kaset.
Kaset pertamanya berjudul cangkir kopi. Direkam langsung saat pementasan di
Palembang. Di kaset kelima berjudul Pingin Melek Hukum. Indro berperan sebagai
mahasiswa penyuluh hukum, sedangkan Kasino dan Dono sebagai warganya.
Ketenaran di radio dan
di pementasan membuat Hasrat Juwil, eksekutif produser PT. Bola Dunia melirik
Warkop Prambors. Hasrat yang juga anak Prambors, menghubungi Warkop untuk
bermain film. Soal skenario, Warkop diberikan kebebasan. Honor pertama untuk
Warkop Rp15 juta. “Uang itu, kami bagi rata,” ujar Indro.
Film pertamanya
berjudul; Mana Tahan di produksi tahun 1979. Artis perempuannya Elvy Sukaesih.
Film terakhirnya berjudul; Pencet Sana Pencet Sini, dibuat tahun 1994. Artis
pendukungnya, Sally Marcellina dan Taffana Dewi. Selama 15 tahun itu, Warkop
telah membintangi 34 film.
Beberapa perusahaan
film yang pernah melibatkan Warkop, antara lain PT. Nugraha Mas Film, PT.
Parkit Film, dan PT. Garuda Film. Sejak tahun 1985, akhirnya diambil alih oleh
PT. Soraya Intercine Film yang dimiliki oleh keluarga Soraya. Saat itu
direkturnya, Raam Soraya.
“Raam sangat membantu
keluarga Warkop. Sampai sekarang pun, ia tetap memperhatikan anak-anak kami. Ia
juga, masih ingin bekerja sama dengan Warkop,” ujar Indro.
Tahun 1983, hari yang
sangat menyedihkan bagi Warkop, Nanu bernama asli Nanu Mulyono, meninggal dunia
akibat sakit ginjal. Dikuburkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Ia hanya sempat
memerankan beberapa film saja. Sedangkan Rudy Badil, tidak pernah sama sekali
terlibat dalam pembuatan film. Warkop akhirnya tinggal bertiga, Dono, Kasino
Indro.
Nama Warkop Prambors
akhirnya berubah menjadi Warkop DKI. Embel-embel Prambors dilepaskan untuk
menghindari pembayaran royalti kepada Radio Prambors.
“Dulu sempat ada
permainan anak-anak yang menyebutkan istilah DKI dengan nama Dono, Kasino,
Indro. Kita kaget. Kok ada permainan yang dikarang oleh anak-anak dengan nama
kami. Kenapa kita tidak pake aja nama DKI” tutur Indro.
Sejak itulah mereka
bersepakat menambah DKI di depan kata Warkop
“Akhirnya, berganti deh
menjadi Warkop DKI. Terus diplesetin lagi, DKI itu kependekan dari Daerah
Khusus Ibukota.” Indro tertawa.
Film yang dibintangi
Warkop DKI semakin menarik perhatian masyarakat. Semua orang membicarakannya.
Film yang mereka bintangi pun menjadi film Indonesia termahal dan paling laris.
Era tahun 1980-1990,
perfilman Indonesia berada di puncaknya. Di antara begitu banyak film yang
diproduksi pada saat itu, film yang dibintangi Warkop DKI dan Rhoma Irama,
merupakan dua film yang selalu ditunggu oleh penonton.
Pada masa jayanya, film
Warkop DKI tidak hanya ditayangkan bioskop lokal. Jaringan bioskop untuk orang
kelas menengah ke atas, Teater 21, sering menayangkan film mereka. Tak hanya
itu, di kampung-kampung diadakan ‘layar tancap’ yang menayangkan film Warkop
DKI. Masyarakat pun berbondong-bondong untuk selalu menjadi tontonan menarik
bagi masyarakat.
“Kita punya kelas
penonton sendiri. Semua orang di Indonesia, selalu membicarakan kelompok Warkop
DKI,” kenang Indro.
Dengan semakin
terkenalnya, Warkop banyak mendapat undangan ke daerah di seluruh Indonesia.
Kisah yang tidak terlupakan, kenang Indro, saat berkunjung ke Timika, Papua.
Masyarakat di sana
memadati lapangan dengan mengenakan koteka. Selama berlangsung dialog lawakan,
tak ada satu pun warga yang tertawa. “Kami bingung,” tuturnya. Koteka adalah
alat penutup kemaluan untuk pria. Di buat dari buah labu. Isi dan bijinya
dibuang dan dijemur. Setelah kering, baru bisa dijadikan penutup kemaluan.
Tiba-tiba Dono
berinisiatif. Ia berlari-larian dengan gayanya yang lucu di atas panggung,”
Indro memperagakan gaya Dono kepada saya. Gaya Dono, tiru Indro, bergoyak dan
melenggokan tubuh sambil tertawa-tawa.
“Saya dan Kasino,
ikutan juga bergaya kayak Dono. Eh…penonton baru pada ketawaan,” kenang Indro
sambil tertawa.
Kocak Warkop DKI selalu
ramai oleh penonton. Kelompok ini, tidak pernah surut dari zaman dan tidak
pernah sepi dari kelucuan. Di mana ada Warkop, disitu orang tertawa.juga, masih
ingin bekerja sama dengan Warkop,” ujar Indro.
Tahun 1983, hari yang
sangat menyedihkan bagi Warkop, Nanu bernama asli Nanu Mulyono, meninggal dunia
akibat sakit ginjal. Dikuburkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Ia hanya sempat
memerankan beberapa film saja. Sedangkan Rudy Badil, tidak pernah sama sekali
terlibat dalam pembuatan film. Warkop akhirnya tinggal bertiga, Dono, Kasino
Indro.
Nama Warkop Prambors
akhirnya berubah menjadi Warkop DKI. Embel-embel Prambors dilepaskan untuk
menghindari pembayaran royalti kepada Radio Prambors.
“Dulu sempat ada
permainan anak-anak yang menyebutkan istilah DKI dengan nama Dono, Kasino,
Indro. Kita kaget. Kok ada permainan yang dikarang oleh anak-anak dengan nama
kami. Kenapa kita tidak pake aja nama DKI” tutur Indro.
Sejak itulah mereka
bersepakat menambah DKI di depan kata Warkop
“Akhirnya, berganti deh
menjadi Warkop DKI. Terus diplesetin lagi, DKI itu kependekan dari Daerah
Khusus Ibukota.” Indro tertawa.
Film yang dibintangi
Warkop DKI semakin menarik perhatian masyarakat. Semua orang membicarakannya.
Film yang mereka bintangi pun menjadi film Indonesia termahal dan paling
laris.
Era tahun 1980-1990,
perfilman Indonesia berada di puncaknya. Di antara begitu banyak film yang
diproduksi pada saat itu, film yang dibintangi Warkop DKI dan Rhoma Irama,
merupakan dua film yang selalu ditunggu oleh penonton.
Pada masa jayanya, film
Warkop DKI tidak hanya ditayangkan bioskop lokal. Jaringan bioskop untuk orang
kelas menengah ke atas, Teater 21, sering menayangkan film mereka. Tak hanya
itu, di kampung-kampung diadakan ‘layar tancap’ yang menayangkan film Warkop
DKI. Masyarakat pun berbondong-bondong untuk selalu menjadi tontonan menarik
bagi masyarakat.
“Kita punya kelas
penonton sendiri. Semua orang di Indonesia, selalu membicarakan kelompok Warkop
DKI,” kenang Indro.
Dengan semakin
terkenalnya, Warkop banyak mendapat undangan ke daerah di seluruh Indonesia.
Kisah yang tidak terlupakan, kenang Indro, saat berkunjung ke Timika, Papua.
Masyarakat di sana
memadati lapangan dengan mengenakan koteka. Selama berlangsung dialog lawakan,
tak ada satu pun warga yang tertawa. “Kami bingung,” tuturnya. Koteka adalah
alat penutup kemaluan untuk pria. Di buat dari buah labu. Isi dan bijinya
dibuang dan dijemur. Setelah kering, baru bisa dijadikan penutup
kemaluan.
Tiba-tiba Dono
berinisiatif. Ia berlari-larian dengan gayanya yang lucu di atas panggung,”
Indro memperagakan gaya Dono kepada saya. Gaya Dono, tiru Indro, bergoyak dan
melenggokan tubuh sambil tertawa-tawa.
“Saya dan Kasino,
ikutan juga bergaya kayak Dono. Eh…penonton baru pada ketawaan,” kenang Indro
sambil tertawa.
Kocak Warkop DKI selalu
ramai oleh penonton. Kelompok ini, tidak pernah surut dari zaman dan tidak
pernah sepi dari kelucuan. Di mana ada Warkop, disitu orang tertawa.
Posted by Unknown